Blogger Templates Gallery
Corsair memperkenalkan 128GB flash drive. Flash dengan kapasitas lebih besar ini dihargai sebesar 400 bucks. Dengan masa garansi selama 10 tahun. Dengan flash drives ini, Anda tidak hanya dapat menyimpan gambar tetapi Anda bisa menyimpan OS. Kapan Flash drives ini hadir di Indonesia. Atau mungkin sudah hadir. Selama berita ini diturunkan saya belum mengetahuinya.
Newegg.com Corsair Voyager 128GB
Blogger Templates Gallery
Tanaman Obat Asli Milik Masyarakat Bangsa dan Negara RI
Serbaneka tanaman obat tersedia di negeri gemah ripah loh jinawi. Masyarakat yang tenteram dan alam pemandangan kaya raya dengan serbaneka keindahan tiada tandingan. Subur, makmur. Kekayaan tanaman obat sebagai sumber pendapatan potensial membuat makmur masyarakat bangsa dan negara Republik Indonesia ini. Kini kembali Profesor Doktor Hembing Wijayakusuma mengingatkan “Kekayaan dan Pengembangan Tanaman Obat Indonesia― melalui Pekan Produk Budaya Indonesia, Kamis 12/7, pukul 11.00 WIB di Ruang Merak II, Balai Sidang Jakarta. Berikut ini makalah lengkapnya.
Indonesia kaya akan sumber daya hayati dan merupakan salah satu negara megabiodiversity terbesar di dunia. Indonesia menduduki urutan kedua setelah Brazil yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya di dunia, itupun tidak dihitung dengan kekayaan lautnya. Meskipun luasnya hanya 1,3% luas daratan bumi, namun kekayaan alamnya sangat melimpah, baik flora maupun faunanya. Indonesia memiliki sekitar 17% jumlah spesies yang ada di dunia. Hutan tropis yang sangat luas beserta keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya merupakan sumber daya alam yang tak ternilai harganya. Indonesia juga dikenal sebagai gudangnya tumbuhan obat (herbal) sehingga mendapat julukan live laboratory.
Kita boleh berbangga dengan kekayaan herbal yang tidak dimiliki oleh negara lain. Sekitar 30.000 jenis tumbuhan obat dimiliki Indonesia. Dengan kekayaan flora tersebut, tentu Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan produk herbal yang kualitasnya setara dengan obat modern. Akan tetapi, sumber daya alam tersebut belum dimanfaatkan secara optimal bagi kepentingan masyarakat. Baru sekitar 1200 species tumbuhan obat yang dimanfaatkan dan diteliti sebagai obat tradisional. Beberapa spesies tumbuhan obat yang berasal dari hutan tropis Indonesia justru digunakan oleh negara lain. Sebagai contoh adalah para peneliti Jepang yang telah mematenkan sekitar 40 senyawa aktif dari tanaman yang berasal dari Indonesia (Suara Pembaruan, 26 Maret 2005). Bahkan beberapa obat-obatan yang bahan
bakunya dapat ditemukan di Indonesia telah dipatenkan dan diproduksi secara besar-besaran di negara lain sehingga memberi keuntungan yang besar bagi negara tersebut.
Pada dasarnya sejak dahulu bangsa Indonesia telah mengenal dan memanfaatkan tumbuhan berkhasiat obat sebagai salah satu upaya untuk menanggulangi masalah kesehatan, jauh sebelum pelayanan kesehatan formal dengan obat- obatan modernnya dikenal masyarakat. Pengetahuan tentang pemanfaatan tumbuhan obat tersebut merupakan warisan budaya bangsa berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang diwariskan secara turun-temurun hingga ke generasi sekarang, sehingga tercipta berbagai ramuan herbal yang merupakan ciri khas pengobatan tradisional Indonesia.
Dengan demikian, selain memiliki kekayaan hayati yang besar, pengetahuan masyarakat lokal tentang pemanfaatan sumber daya hayati tersebut cukup tinggi. Oleh karena itu, tidaklah bijaksana apabila pengobatan penyakit dan pemeliharaan kesehatan dengan pemanfaatan tumbuhan obat tidak diupayakan untuk dikembangkan bagi kepentingan masyarakat dan bangsa.
Dalam memanfaatkan dan mengembangkan tumbuhan obat, juga harus diperhatikan pelestarian dan perlindungannya. Pemanfaatan herbal untuk pemeliharaan kesehatan dan gangguan penyakit hingga saat ini masih sangat dibutuhkan dan perlu dikembangkan, terutama dengan melonjaknya biaya pengobatan dan harga obat-obatan. Adanya kenyataan bahwa tingkat kebutuhan masyarakat terhadap pengobatan semakin meningkat, sementara taraf kehidupan sebagian masyarakat kita masih banyak yang kemampuannya pas-pasan. Maka dari itu, pengobatan dengan bahan alam yang ekonomis merupakan solusi yang baik untuk menanggulangi masalah tersebut. Dengan kembali maraknya gerakan kembali ke alam (back to nature), kecenderungan penggunaan bahan obat alam/herbal di dunia semakin meningkat.
Gerakan tersebut dilatarbelakangi perubahan lingkungan, pola hidup manusia, dan perkembangan pola penyakit. Slogan back to nature yang menunjukkan minimnya efek negatif yang ditimbulkan dari penggunaan herbal dan juga ekonomis menarik minat masyarakat untuk kembali menggunakan obat-obatan dari bahan alami. Obat yang berasal dari bahan alam memiliki efek samping yang lebih rendah dibandingkan obat-obatan kimia, karena efek obat herbal bersifat alamiah. Dalam tanaman-tanaman berkhasiat obat yang telah dipelajari dan diteliti secara ilmiah menunjukan bahwa tanaman-tanaman tersebut mengandung zat-zat atau senyawa aktif yang terbukti bermanfaat bagi kesehatan.
Potensi Agrobisnis Herbal
Kecenderungan masyarakat dunia untuk kembali ke alam membawa perubahan pada pola konsumsi obat ke obat- obatan yang terbuat dari bahan alami. Berdasarkan data WHO, sekitar 80% penduduk dunia dalam perawatan kesehatannya memanfaatkan obat tradisional yang berasal dari ekstrak tumbuhan. Meningkatnya kebutuhan akan obat herbal tersebut merupakan peluang besar bagi Indonesia untuk mengembangkan budidaya dan agribisnis tumbuhan
obat, maupun industri pengolahannya dengan skala yang cukup besar. Saat ini produksi obat tradisional dan fitofar maka berkembang dengan pesat, sehingga kebutuhan tumbuhan obat untuk bahan baku industri tersebut juga meningkat tajam. Namun sebagian bahan baku obat dari herbal tersebut masih belum banyak dibudidayakan dan pengembangan teknologi budidayanya masih terbatas.
Sebagian bahan baku dari tumbuhan obat masih diambil dari hutan (misal pule, pasak bumi), sehingga dikhawatirkan akan terjadi kelangkaan jenis tumbuhan obat tertentu. Dengan kebutuhan bahan baku yang terus meningkat, tentunya laju pengambilan tumbuhan obat lebih cepat dari kemampuan hutan itu sendiri dalam memulihkan populasinya. Apalagi
ditambah dengan eksploitasi dan kerusakan hutan maka kelangkaan dari spesies tumbuhan tertentu tidak bisa dihindari.
Oleh karena itu, usaha pembudidayaan tumbuhan obat selain sebagai peluang usaha untuk meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan masyarakat khususnya petani juga sebagai upaya konservasi untuk terselenggaranya proses pelestarian sumber bahan alam dan ketersedian bahan baku. Dalam hal ini diperlukan tanggung jawab bersama, terutama dari pihak petani dan perusahaan yang bergerak di industri obat tradisional atau farmasi yang menggunakan
bahan baku alam.
Dalam usaha pengolahan tumbuhan obat, proses produksinya harus memenuhi persyaratan kualitas yang ditetapkan sehingga dihasilkan produk yang aman, dan sesuai dengan kegunaan yang diinginkan. Adanya produk jamu yang mengandung bahan kimia yang banyak beredar di Indonesia tentunya berakibat buruk bagi kesehatan. Hal tersebut juga mengurangi kepercayaan konsumen dan mempengaruhi perdagangan produk jamu lainnya. Diperlukan pengawasan
yang lebih ketat terhadap pengolahan dan peredaran produk. Pengembangan usaha tumbuhan obat diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, peningkatan pendapatan, penyerapan tenaga kerja baik dalam usaha pengadaan bahan baku, usaha pengolahan maupun perdagangan.
Perlindungan Sumber Daya Hayati
Saat ini semakin banyak industri farmasi baik di negara industri maupun di negara-negara berkembang yang mulai mengembangkan obat-obatan yang bahan bakunya dari alam. Sekitar 25% produk farmasi dunia bahan bakunya berasal dari tumbuhan. Hal itu membuktikan bahwa tumbuhan obat telah menjadi sumber bahan penting untuk obat modern.
Fakta lainnya yaitu obat yang berasal dari ekstrak tumbuhan tersebut pemakaiannya berdasarkan pengetahuan lokal dari masyarakat adat tertentu. Perusahaan farmasi merupakan pelopor bagi pengembangan industri obat modern yang berasal dari ekstrak tumbuhan obat dengan memanfaatkan pengetahuan lokal dari masyarakat tertentu.
Pada umumnya perusahaan-perusahaan farmasi besar yang kebanyakan terdapat di negara-negara maju tidak mempunyai sumber bahan baku yang cukup di negaranya. Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan tersebut mereka melakukan eksplorasi secara agresif ke negara-negara yang mempunyai hutan tropika dengan kekayaan keanekaragaman sumber daya hayatinya untuk mengambil dan meneliti tumbuhan obat yang dipandang bernilai tinggi.
Selain itu, mereka juga memanfaatkan pengetahuan masyarakat adat setempat tentang penggunaannya.
Hasil dari eksplorasi tersebut dibawa ke negaranya dan tidak jarang bersama dengan spesimennya, yang kemudian dihasilkan produk obat baru dan mematenkannya untuk kepentingan komersial. Walaupun mengembangkan tumbuhan obat, namun aktivitas tersebut termasuk dalam pencurian sumber daya hayati, karena tidak memberikan keuntungan
apapun terhadap pemilik sumber daya hayati, terutama kepada masyarakat lokal setempat. Tak jarang pula, masyarakat pemilik sumber daya hayati tersebut membeli kembali produk yang sudah jadi dengan harga mahal, walaupun bahan bakunya berasal dari daerah mereka.
Pengembangan usaha tumbuhan obat diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, peningkatan pendapatan, penyerapan tenaga kerja baik dalam usaha pengadaan bahan baku, usaha pengolahan maupun perdagangan. Indonesia mempunyai kekayaan sumber daya hayati yang besar dan pengetahuan masyarakat adat/lokal tentang penggunaan tumbuhan berkhasiat obat juga cukup tinggi. Keadaan tersebut merupakan potensi yang baik untuk
aktivitas bioprospeksi, yaitu proses eksplorasi dan pemanfaatan sumber daya hayati (termasuk tumbuhan obat) untuk dikembangkan dan kepentingan komersial. Sehingga Indonesia merupakan salah satu target dari perusahaan- perusahaan farmasi besar untuk daerah eksplorasi bahan baku alam/tumbuhan obat. Sebagai contoh, sekitar 14 spesies
tumbuhan yang digunakan sebagai bahan baku obat-obatan penting di Amerika dan telah digunakan secara luas untuk pengobatan berasal dari hutan tropis Indonesia (Muhtaman, 1999).
Aktivitas yang mengacu pada pemanfaatan sumber daya hayati yang bernilai tinggi untuk dikembangkan terutama untuk pengobatan tentunya merupakan hal yang positif. Dengan aktivitas tersebut, potensi sumber daya alam khususnya tumbuhan obat dan pengetahuan masyarakat lokal yang berharga dapat tergali dan terdokumentasikan, sehingga dapat
dimanfaatkan secara luas untuk meningkatkan kualitas hidup. Namun seringkali aktivitas eksplorasi dan pemanfaatan bahan baku alami tersebut disertai dengan eksploitasi yang berlebihan, monopoli dan pembajakan terhadap sumberdaya hayati. Untuk melindungi kekayaan sumberdaya hayati diperlukan aturan atau perundang-undangan yang jelas.
Diperlukan perjanjian kerjasama yang adil dan menguntungkan antara pemilik sumber daya hayati dan pelaku eksplorasi seperti perusahaan farmasi besar. Peraturan yang jelas tersebut meliputi antara lain akses ke sumber daya hayati, ijin melakukan penelitian atau eksplorasi dari pemilik dan pengelola sumber daya hayati serta pembagian manfaat atau keuntungan yang adil.
Pengembangan Tumbuhan Obat
Untuk menghasilkan obat alami (herbal) yang berkualitas baik, aman, dan berkhasiat, maka dalam pembuatannya juga harus baik. Dalam hal ini salah satunya adalah pemilihan bahan baku yang tepat dan ditunjang dengan penelitian.
Sebagian penemuan dari obat-obatan modern pada awalnyaberdasar referensi pengobatan etnofarmakologi dari bahan alam. Banyak obat-obat modern yang dibuat dari tumbuhan obat yang telah dikembangkan dan diteliti dengan proses pembuatan secara klinis laboratories. Ada tiga kategori sediaan obat alami yang ditetapkan BPOM, yaitu jamu, herbal terstandar, dan fitofarmaka.
Jamu merupakan sediaan alami dengan bahan baku tanaman obat dalam bentuk sederhana yang khasiat penggunaannya berdasarkan pada data atau pengalaman empiris secara turun temurun. Herbal terstandar merupakan sediaan obat alami yang telah terstandarsisasi dan lolos uji preklinik (uji khasiat dan toksisitas pada hewan percobaan).
Fitofarmaka merupakan sediaan alami dengan bahan baku tanaman obat yang telah terstandardisasi dan lolos uji preklinis dan uji klinis (pada pasien). Indonesia saat ini baru punya lima jenis obat fitofarmaka. Saat ini, perkembangan pengobatan tradisional dengan tumbuhan obat/herbal sudah masuk ke periode modern sesuai dengan perkembangan IPTEK, namun pengembangan tumbuhan obat di Indonesia cenderung tidak berkembang dengan baik sehingga masih ketinggalan dengan negara lainnya, seperti Tiongkok, Korea dan Jepang. Melihat sarana pendukung yang ada di Indonesia untuk mengembangkan pengobatan tradisional termasuk perkembangan tumbuhan obat masih sangat kurang, contohnya teknik peralatan NMR 400 yang sangat berguna bagi peneliti kimia bahan alami di Indonesia masih tergolong langka. Belum lag! kendala dari segi SDM yang benar-benar menguasai pengobatan tradisional secara menyeluruh masih sangat terbatas. Selain itu, masih kurangnya dukungan untuk perkembangan pengobatan tradisional, seperti belum adanya RS tradisional di Indonesia, belum dimasukannya pendidikan herba secara khusus dalam kurikulum pendidikan kedokteran, dan minimnya penelitian tanaman obat.
Tanaman obat asli Indonesia kurang didukung oleh penelitian sebagai bukti ilmiah atas khasiat suatu produk, sehingga pemanfaatan obat dari herbal asli Indonesia di sarana pelayanan kesehatan masih sedikit. Penelitian terbentur pada biaya yang besar, dan waktu yang lama. Menurut Drs. Ruslan Aspan MM (Deputi II Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetika dan Produk Komplemen Badan POM), dana yang dibutuhkan untuk uji klinis sangat besar yaitu
mulai ratusan juta rupiah hingga sekitar satu miliaran rupiah per jenis tumbuhan. Pada tahun 1996, Prof. AA Loedin yang saat itu menjabat Ketua I Dewan Riset Nasional mengingatkan perusahaan perusahaan farmasi Indonesia agar jangan berkhayal menghasilkan obat-obat baru pada saat perdagangan bebas global terlaksana penuh, hal tersebut karena diperlukan dana riset yang bisa mencapai 390 juta dolar AS untuk menghasilkan satu obat baru, seperti yang dilakukan perusahaan farmasi multinasional AS dan Eropa.
Dalam hal pengembangan tanaman obat atau herbal, Indonesia pertu belajar pada Tiongkok. Di negeri tersebut pengobatan tradisional secara formal sudah menyatu dengan pengobatan modern (pengobatan barat) dan diterapkan dalam pelayanan kesehatan secara bersama-sama. Di seluruh Tiongkok banyak terdapat Rumah sakit tradisional yang menerapkan Traditional Chinese Medicine, di kota Sanghai saja terdapat lebih dari 24 rumah sakit tradisional. Di setiap
provinsinya tersedia paling sedikit satu universitas dan perguruan tinggi yang mempunyai fakultas kedokteran timur yang mengkhususkan diri pada Traditional Chinese Medicine dan telah menghasilkan sarjana-sarjana sebagai sumber daya manusia yang andal di bidangnya. Di Tiongkok pengobatan tradisionalnya sudah menggunakan teknologi Nano. Semua
sarana dan prasarana pendidikan tadi diberi dukungan dana oleh pemerintah dan telah dilengkapi pula dengan fasilitas lengkap sesuai kemajuan IPTEK sehingga memungkinkan dilakukannya kegiatan penelitian maupun uji klinis terhadap khasiat tanaman obat. Dengan demikian perkembangan kedokteran timur yang menghasilkan fitofarmaka di Tiongkok
sudah cukup pesat, banyak klinik dan rumah sakit yang menggabungkan konsep kedokteran umum dan fitofarmaka.
Masih banyak herbal Indonesia yang mempunyai nilai tinggi belum cukup dikembangkan dan diuji secara ilmiah, contohnya adalah buah merah yang berasal dari Papua. Ekstrak buah tersebut telah diperjualbelikan dengan harga yang cukup mahal dan diklaim dapat mengobati berbagai penyakit sehingga terjadi eksploitasi yang berlebihan pada hutan
Papua. Oleh karena itu diperlukan uji klinis lebih lanjut untuk mendukung penelitian sebelumnya dan pengetahuan masyarakat setempat. Selain itu, diperlukan pengembangan budidayanya agar tidak mengancam kelestariannya.
Dengan pengembangan tumbuhan obat diharapkan pengobatan dengan herbal yang merupakan warisan dari nenek moyang kita mengalami kemajuan dan tidak hilang. Jangan sampai negara lain merebut dan mengambil alih dengan memproduksi obat-obat tradisional Indonesia, karena hal tersebut bisa saja terjadi apabila pengobatan herbal kita tidak mengalami perkembangan, apalagi dengan eksplorasi negara-negara maju terhadap tumbuhan obat asli Indonesia.
Pengembangan tanaman obat/herbal bertujuan untuk menghasilkan produk herbal yarig memenuhi penegakan mutu, khasiat dan keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan melalui penelitian. Dengan demikian obat-obat herbal yang dikembangkan dapat masuk dalam pelayanan kesehatan dan digunakan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.
Dalam pengembangan obat-obat herbal asli Indonesia diperlukan peran serta berbagai pihak, harus ada kerjasama yang baik antara pemerintah, pihak industri obat tradisional dan farmasi, peneliti dan institusi pendidikan.
Upaya atau langkah-langkah dalam pengembangan tumbuhan obat antara lain meliputi:
a. sosialisasi pemanfaatan herbal sehingga potensi kekayaan alam Indonesia dapat tergali baik dari segi budidaya maupun pemanfaatannya sebagai sumber pengobatan;
b. mendekatkan tumbuhan obat pada pelayanan kesehatan masyarakat;
c. meningkatkan penghasilan masyarakat dengan usaha budidaya tanaman obat dan produk pengolahan;
d. upaya konservasi/pelestarian sumber bahan alam;
e. pengembangan teknologi budidaya, hasil, dan pengolahan/proses produksi sehingga dihasilkan simplisia dan produk
dengan mutu yang terjamin;
f. penelitian tumbuhan obat dan aplikasinya untuk menghasilkan obat herbal yang memenuhi syarat mutu/kualitas, aman dan khasiat/kemanfaatan;
g. kerjasama dari berbagai pihak, seperti pemerintah, industri obat tradisional dan farmasi, peneliti, peguruan tinggi;
h.peraturan perundang-undangan yang jelas untuk perlindungan terhadap sumber daya alam hayati, khususnya tumbuhan obat.
Blogger Templates Gallery
Ayam Jawa telah di kembangkan sejak lama oleh Amerika. Bahkan ada yang menjadi ayam yang sudah lama kita kenal.
Mypetchicken
ABC-USA
Blogger Templates Gallery
Jogjakarta (TROBOS). “Sejak tahun 1835 ayam Indonesia sudah dikembangkan di Amerika dengan nama breed (galur-red) Java,” ungkap Heru Sasongko, dosen Fapet UGM - Jogyakarta saat berbincang dengan TROBOS (17/6). “Untuk membuat breed unggul kita memerlukan waktu kurang lebih lima belas tahun, untuk tiap jenisnya,” jelas Heru.
Menurut Heru, alasan tidak bisa berjalannya proyek pemerintah terkait pengembangan ayam lokal sebagai breed unggul disebabkan karena pendekatan yang dilakukan program pemerintah dalam hal pemuliaan ayam lokal selama ini lebih cenderung pada pendekatan proyek yang sangat terbatas rentan waktunya, atau kurang lebih satu tahun, serta pelaksanaan program kurang terarah.
“Tidaklah benar bila ayam Indonesia tidak memiliki kemampuan genetis yang bisa mencapai kemampuan ayam ras lainnya” jelas Heru. Ia mengingatkan bahwa Amerika telah berhasil mengembangkan ayam Indonesia dengan nama breed Java sebagai ayam unggulan, dan bahkan menjadi sumber genetik untuk mengembangkan berbagai breed ayam Amerika “Mengapa kita tidak bisa juga mengembangkannya? Bukankah ayam tersebut asli Indonesia?” tanya Heru.
Heru mengungkapkan, “Untuk mencapai ketahanan pangan yang kuat, terutama di bidang perunggasan Indonesia harus memiliki pure breed (galur murni-red) Indonesia yang menjadi GGPS (Great Grand Parent Stock) dari ayam-ayam FS (Final Stock) yang dikembangkan di Indonesia.”
TROBOS
Blogger Templates Gallery
Kepiting cangkang lunak akan menjadi tren budidaya kepiting di masa depan
Seribu satu rintang masih menghadang usaha budidaya kepiting. Tetapi, ini bukan pertanda bisnis kepiting bisnis yang merugi. Sebaliknya, bisnis ini menawarkan berlembar-lembar dolar yang bisa menggemukkan tabungan. Dan usaha budidaya kepiting yang diramal bakal jadi tren masa depan adalah budidaya kepiting soka/lunak (soft shell).
Kepiting soka adalah kepiting yang memiliki cangkang (karapas) lunak. Inilah jawaban atas keengganan sebagian orang mengkonsumsi kepiting karena harus berjuang mendapatkan daging di bawah kulitnya yang keras. Dengan sedikit perlakuan khusus kulit kepiting bisa dibuat lunak sehingga bisa ikut dimakan.
Permintaan Naik
Usaha ini terbilang masih baru sehingga belum banyak yang menggelutinya. Satu di antara segelintir orang yang mengusahakan kepiting soka adalah Waryoto. Lelaki 45 tahun asal Purwokerto tersebut sejak lebih dari 3 bulan lalu memulai usaha budidaya kepiting soka yang dikerjasamakan dengan pengelola Tambak Pandu Karawang (TPK), Jawa Barat dan seorang pengusaha dari Batam.
Meski baru seumur jagung, namun usaha budidaya kepiting soka Waryoto sudah membuahkan hasil lumayan. Betapa tidak, harga kepiting Waryoto mencapai Rp 60 ribu per kg. Harga ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kepiting soka di Sulawesi Selatan yang berada pada kisaran Rp 40 sampai Rp 42 ribu per kg. ”Biaya produksinya juga mahal, sekitar Rp 20 ribu per kg,” kata Waryoto yang mengaku menentukan sendiri harga jual kepitingnya.
Walau demikian, kepiting soka Waryoto selalu habis diborong eksportir. Bahkan mereka terus meningkatkan jumlah permintaannya karena kebutuhan untuk ekspor juga kian berlipat. Jika di awal usahanya Waryoto mencari-cari pasar, kini justru dia yang diuber pembeli. Permintaan terbanyak datang dari Amerika Serikat dan Jepang yaitu mencapai 3 ton per bulan. ”Tapi saya baru bisa memproduksi sekitar 20 sampai 30 kg per hari,” ujar Waryoto. Karena hal ini, bapak dua anak ini mengatakan belum berani menandatangani kontrak dengan eksportir. ”Lahan dan pasokan belum pasti.”
Lebih Menguntungkan
Prinsip budidaya kepiting soka ala Waryoto sangat sederhana. Yakni dari bahan baku kepiting bakau ukuran 10 – 12 (10 sampai 12 ekor per kg) diadaptasikan dulu selama satu hari, kemudian dipotong kedua capitnya. Demikian pula dengan keenam kaki jalannya juga dipotong dan hanya disisakan satu bagian yang dekat dengan kaki renangnya. Sementara kedua kaki renang tetap dibiarkan utuh. Setelah pemotongan itu lalu dipelihara lagi di tambak (kolam tanah) selama 15 hari atau sampai mengalami ganti kulit (molting). Saat molting inilah, kepiting akan menghasilkan cangkang baru yang lunak dan siap dipanen. Ukuran kepiting akan bertambah sekitar 2 size.
TROBOS
”Fungsi pemotongan capit dan kaki jalan kepiting adalah untuk membuat stres kepiting sehingga proses moltingnya juga akan lebih cepat,” Waryoto berbagi ilmu. Menurut dia, budidaya kepiting soka jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan budidaya kepiting biasa di keramba. Tingkat kematiannya paling banter hanya 20%. Sementara budidaya kepiting di keramba mortalitasnya mencapai 40%. Selain itu rasa kepiting soka yang dipanen dari kolam lumpur juga lebih manis dibandingkan dengan kepiting yang dipelihara di keramba.
Blogger Templates Gallery
Indonesia berkesempatan memantapkan diri menjadi penyedia pangan produk akuatik bagi dunia
Krisis pangan yang melanda dunia sekarang ini tak seharusnya diratapi dan disikapi dengan rasa pesimis oleh semua pihak. Karena dibalik semua itu ada hikmah dan sisi positifnya. Di bidang perikanan misalnya, krisis pangan ini bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk kian memantapkan diri menjadi penyedia pangan produk akuatik bagi dunia.
Apalagi, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam budidaya perikanan, seperti garis pantai yang mencapai 95 ribu km dan sungai-sungai yang masih murni dan alami dari hulu hingga hilir. Faktanya, potensi besar tersebut belum bisa dimanfaatkan secara optimal dan bahkan tertinggal jauh dari Vietnam dan China. Padahal kedua negara tersebut tidak memiliki potensi seperti yang dipunyai Indonesia.
“Ini merupakan bukti belum maksimalnya pemanfaatan potensi yang ada.,” kata Dirjen Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Made L Nurjana pada satu kesempatan di Lampung belum lama berselang. Dia menyebutkan, pada 1949 produksi perikanan Indonesia pernah mengalahkan China. Saat itu produksi Indonesia mencapai angka 25 ribu ton dan China 19 ribu ton. Namun pada tahun 2000 kondisinya menjadi terbalik, China jauh melampaui produksi perikanan Indonesia dengan angka 34,6 juta ton sementara Indonesia hanya 1,4 juta ton.
Kemudian pada tahun 2007, meskipun produksi Indonesia meningkat menjadi 3,08 juta ton, namun produksinya masih tetap di bawah China yang membukukan angka produksi 40 juta ton. “Padahal garis pantai China hanya 14.500 km, jauh lebih kecil dari Indonesia,” ujar Nurdjana.
Tak ketinggalan Vietnam. Negeri Paman Ho ini berhasil memproduksi ikan patin 1 juta ton per tahun dari hasil pemanfaatan Sungai Mekong sebagai sarana budidaya perikanan. Padahal sungai-sungainya sudah tidak murni. Airnya melewati beberapa negara baru sampai ke Vietnam. “Dengan kondisi seperti itu produksi perikanannya mampu bersaing dengan kita,” katanya.
TROBOS