Ayam cenderung menggerombol di tepian kandang, malas bergerak, malas makan dan minum. Dampak paling nyata, ayam ”bantat”
Jika menjelang Pemilu 2009, arus politik mengalirkan “hawa panas” dalam makna kias, tidak demikian dengan realita cuaca yang ada. Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) memprediksi, hingga penghujung September ini Indonesia bakal dicekam udara yang dominan dingin plus angin kencang. Hal ini dikarenakan bertiupnya angin dari tenggara, khususnya dari Benua Australia yang memasuki musim dingin. Situasi tak bersahabat yang telah berlangsung kurang lebih tiga bulan ini tak pelak membawa dampak juga pada pertumbuhan dan kinerja atau produktivitas broiler. Suhu pada malam hari yang berada pada rentang 18 – 20 derajat C menyebabkan organ – organ produksi tidak optimal menjalankan fungsi.
Tak hanya di Indonesia, menurut keterangan Teguh Yodiantara Prajitno, Vice President, Head of Poultry Health Services Japfa Comfeed Indonesia, kasus cekaman dingin juga menggejala di negara – negara Asia lainnya, seperti Filipina dan Malaysia. Di negara – negara tersebut cekaman dingin lebih dikenal dengan istilah “cold night syndrome”. Karena suhu di malam hari yang ekstrim dingin. ”Brooding banyak gagal pada waktu malam hari. Minimnya kontrol suhu kandang saat malam, akibat operator sering tidur,” Teguh menjelaskan.
Kedinginan, cekaman dingin dan kekacauan hasil produksi akibat kesalahan manajemen dan perlakuan suhu bukanlah satu hal baru. Suasana tak bersahabat ini menuntut perlakuan khusus di kandang, baik sejak awal “chick in” hingga jelang panen. Beberapa pihak menekankan, terkait cuaca ekstrim seperti ini maka masa brooding menjadi titik kritis yang menentukan hasil panen. Suhu kandang yang di bawah kebutuhan hidup nyaman DOC akan menjadi pemicu cekaman dingin. Kepada TROBOS Teguh menyebutkan kurva pertumbuhan ayam meningkat tajam pada masa pertumbuhan ayam, yaitu di masa brooding. Brooding sangat penting sebab 30% kunci sukses budidaya ditentukan pada masa tersebut.
Pertanyaannya, peternak harus bagaimana? ”Tidak ada jalan lain. Ukur, seimbangkan, kontrol!” tegas doktor mikrobiologi ini. Tiga instruksi yang dimaksudkan Teguh adalah metode untuk memantau suhu kandang agar terjaga pada titik optimum bagi produktivitas ayam. ”Perhatikan tingkah laku ayam. Mereka mengatakan segala informasinya kepada Anda!” Teguh yakin menekankan.
Cuaca Ekstrim, Ayam Bantat
Fakta di lapangan memperlihatkan, akhir – akhir ini ayam banyak bertingkah di luar kebiasaan. ”Lebih suka menggerombol di bagian pinggir kandang dan lebih malas bergerak, malas makan dan minum, ” Nuryanto, Production and Health Control Manager Satwa Utama Group - Sukabumi membeberkan. Akibatnya feed intake (tingkat asupan pakan) menurun dan tidak merata, sehingga keseragaman tumbuh (uniformity) menjadi rendah. Selain itu, data yang ditunjukkan Nuryanto menyebutkan FCR (feed convertion rate) membengkak dan mortalitas meningkat.
Nuryanto yang saat ditemui TROBOS bersama Effendy Kusmawijaya –pemilik Satwa Utama Group— dan Slamet Ishak Kurniadi –Deputy Branch Manager— menyimpulkan, fenomena yang ditemukan tidak terlepas dari pengaruh cuaca dan suhu yang fluktuatif. ”Ayam kedinginan dan mengalami cold shock (stres dingin),” tutur Nuryanto.
Effendy yang mitranya tersebar di beberapa lokasi urun menambahkan. ” Dulu memang ayam tidak terlalu sensitif dengan terpaan angin, tapi kenyataan saat ini, jika ayam terkena angin selama setengah sampai satu jam saja sudah bantat (tidak dapat berkembang – red).” Dijelaskan kategori bantat, jika normalnya ayam umur 1 minggu mampu mencapai bobot 220 gram, pada umur yang sama ayam bantat hanya memiliki bobot di kisaran 160 – 170 gram. Dan pada umur dua minggu, secara normal ayam dapat berkembang hingga mencapai bobot 530 – 510 gram, ayam bantat hanya memiliki bobot 380 gram untuk betina dan jantan 410 gram. Effendy atau yang lebih sering disapa Aseng menyebut angka cukup besar untuk menunjukkan tingkat kejadian ayam bantat. ”Bisa mencapai 4 – 5 % dari total populasi. Belum termasuk peningkatan kematian (mortalitas) yang dapat mencapai 5 – 6 %.” Padahal umumnya, tingkat kematian unggas secara normal menurut Aseng tak lebih dari 5 %. ”Jadi jika dijumlahkan, kerugian total bisa sekitar 10 % dari populasi yang ada,” tegas Aseng.
0 komentar:
Posting Komentar