Pergantian cuaca menimbulkan perubahan pada beberapa komponen alam, yang mendukung, agen penyakit menjadi lebih pathogenik
Awal musim hujan di sebagian besar wilayah Indonesia diperkirakan akan turun bulan November ini. Demikian diungkapkan Sri Woro, Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) dalam jumpa pers yang dilaksanakan di Jakarta beberapa waktu lalu. Informasi ini tak hanya berguna bagi petani tanaman pangan yang harus menentukan masa tanam. Bagi peternak, informasi ini pun menjadi penting lantaran musim berpengaruh besar pada tingkat kesehatan dan produktivitas ternak. Pranyata Tangguh Wakita dari PT Paeco Agung Bandung berujar, setiap kali penghujan dating bakal diiringi munculnya berbagai jenis penyakit tertentu pada unggas.
Dijelaskannya, pergantian cuaca dari musim kemarau ke musim hujan menimbulkan terjadinya perubahan pada beberapa komponen alam seperti suhu udara, kelembaban, intensitas cahaya sampai pada struktur penyusun tanah seperti pH tanah. Perubahan - perubahan tersebut mengarah pada kondisi lingkungan yang mendukung tumbuh dan berkembangnya virus atau bakteri penyebab penyakit. “Dengan kondisi yang mendukung, kuman - kuman penyebab penyakit menjadi lebih pathogenik dari sebelumnya,” tutur Pranyata yang akrab disapa Totok.
Waspada AI Subklinis
Salah satu penyakit yang patut diwaspadai bakal merebak di musim hujan, menurut Totok, adalah AI (Avian Influenza). Totok mewanti, peternak kini harus lebih hati - hati dalam mengamati karakter AI di lapangan. ”Gejala klinis AI sudah sangat berbeda antara karakteristik AI yang dulu (2003 – red) dengan yang sekarang,” ungkapnya. Muliati Sutandi, Vaccine Business Manager PT Romindo Primavetcom secara terpisah mengungkapkan hal senada. Katanya, ”Jangan dibayangkan AI kali ini adalah AI yang merebak seperti pada 2003. Beda !”
Akhir – akhir ini, AI yang sedang ramai menjadi bahan pembhasan adalah AI subklinis (tanpa gejala nyata) yang tidak menimbulkan kematian dalam jumlah tinggi seperti di tahun – tahun awal penyakit ini merebak. Sebaliknya, AI yang menggejala belakangan justru sulit diamati dan jarang disadari bahwa penyakit tersebut adalah AI.
Sejumlah pihak menilai, AI yang kini menyerang unggas cenderung merebak dengan cara yang lebih ’kalem’. Hasil pengamatan di lapang, sebagaimana yang ditunjukkan Lia –sapaan akrab Muliati - pada TROBOS memperlihatkan, kali ini serangan AI lebih berimbas pada terjadinya penurunan produksi. Tidak tanggung – tanggung, pada layer, penurunan produksi yang terjadi dapat mencapai 20 – 30 %. Bahkan dalam suatu kali pengamatan, menurut Lia, ada satu kasus AI yang menurunkan produksi hingga angka 40 %. Selain dari segi kuantitas, serangan AI pada layer juga menyebabkan kualitas telur menjadi menurun. ”Kadang telur menjadi lembek seperti telur penyu, ukuran lebih kecil dan mudah pecah,” tutur Lia saat ditemui di kantornya beberapa waktu lalu.
Imunosupresif
Persepsi AI selalu identik dengan mortalitas tinggi kerap menggiring dugaan bahwa penurunan produksi telur semata lantaran terjadinya EDS (Egg Drop Syndrome). Jenis penyakit yang dicirikan dengan penurunan kualitas dan kuantitas produksi telur, sementara ayam tetap nampak sehat. Penyakit ini disebabkan oleh virus Adenovirus yang bersifat mengaglutinasi (menggumpalkan) sel – sel darah merah unggas. Dugaan lain yang kerap muncul, kata Lia, biasanya disebut karena adanya kandungan mikotoksin (racun asal jamur) dalam pakan, kualitas pakan yang jelek, keberadaan cacing pita atau karena IB (Infectious Bronchitis).
Salah satu faktor yang menyulitkan diagnosa AI disebabkan penyakit ini bersifat imunosupresif (menekan pertahanan tubuh) sehingga memicu munculnya serangan penyakit lain, misalnya IB. Jika tubuh telah terinfeksi virus AI, sistem imunitas tubuh akan melemah sehingga kerentanan terhadap serangan penyakit semakin tinggi.
Fakta di lapang, sebagaimana dikemukakan Edi Noerjanto, Pharmaceutical Business Manager PT Romindo Primavetcom, jika hal ini terjadi, peternak menjadi rancu menganalisa jenis penyakit utama/primer yang sedang menjangkit. Seringnya, kata Edi, pada saat melakukan pemantauan, bukan AI yang akan terdeteksi, tapi sering penyakit ’ikutan’ yang akan terlihat mucul. ”Peternak melihat penyakit sekundernya saja, padahal primernya justru AI.”
Kesimpulan bahwa penurunan produksi nyata disebabkan oleh AI, kata Lia, terbukti setelah dilakukan pemeriksaan pada titer dan bedah bangkai. Pada bedah bangkai ayam yang terserang AI, akan nampak terjadinya pendarahan folikel yang terdapat di ovarium. ”Ini yang menyebabkan produksi telur menurun atau tidak berproduksi,” Lia menjelaskan. Dengan pengamatan tersebut, dapat disimpulkan bahwa penurunan produksi telur bukan lantaran mikotoksin sebagaimana dugaan yang kerap kali muncul. ”Mikotoksin tidak menyebabkan folikel hyperaemia (perdarahan yang berlebihan– red). Jadi ini lebih mengarah ke AI,” ujar Lia.
Sedangkan pada telur yang dipecah, terlihat sebagian putih telur tampak rusak atau pecah.
Virus AI berkembang biak dalam saluran pernafasan, pencernaan, ginjal dan atau sistem reproduksi dan dikeluarkan dari hidung, mulut, konjungtiva dan kloaka unggas yang terinfeksi. Musim hujan dengan karakternya yang lembab menciptakan zona nyaman bagi perkembangan dan penyebaran virus ini. Dalam kondisi demikian, virus AI mudah menular dari satu unggas ke unggas lain, atau dari satu flock ke flock yang lainnya. Virus ini dapat ditularkan dengan kontak langsung dari unggas yang terinfeksi melalui saluran pernafasan, konjungtiva dan tinja. Penularan juga dapat terjadi secara tidak langsung melalui debu yang mengandung virus, ransum, air minum, peralatan kandang, dll.
0 komentar:
Posting Komentar