Jika ayam terserang ngorok, tubuh menjadi lebih rentan terhadap berbagai serangan penyakit
Ngorok atau bahasa kerennya Chronic Respiratory Disease bisa jadi hanya sebatas gangguan kesehatan ringan pada manusia. Tapi lain ceritanya bagi unggas. Penyakit pernapasan kronis ini telah lama menteror peternak dan bahkan menebar ancaman kematian pada ternak.
Data dari bagian Riset dan Pengembangan Medion menunjukkan, pada 2005, penyakit ngorok menempati posisi ke dua dari lima penyakit yang sering menyerang ayam pedaging dan menduduki peringkat ke empat pada ayam petelur. Berita buruknya, penyakit ini hampir selalu ditemukan di setiap peternakan. Tak heran jika keberadaannya sudah sangat populer bagi peternak. Walau demikian, tak sedikit peternak yang terlambat menyadari bahaya ngorok pada unggas.
Drh Hernomoadi Huminto MVS, staf pengajar Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB) menegaskan, sekali ayam terserang CRD maka tubuh ayam menjadi lebih rentan terhadap berbagai serangan penyakit. Sebab, selama ini CRD jarang ditemui dalam keadaan murni. Alias kerap berkolaborasi dengan bakteri lain membentuk CRD kompleks. Disinilah masalah itu mulai timbul!
Picu Kematian
Salah satu ancaman terbesar CRD adalah menjadi pemicu meningkatnya angka kematian (mortalitas). Kardiman Tjandra, Area Manager Lohman Animal Health Indonesia menyatakan, CRD yang telah berkolaborasi dengan E Coli bisa memicu mortalitas hingga angka 10 – 15 %. ”Bahkan bisa mencapai 20 %,” kata Kardiman ketika ditemui di kantornya yang berlokasi di Menara Maspion Plaza, Jakarta.
Sementara untuk CRD murni, kematian yang ditimbulkan terbilang lebih rendah, sekitar 5%. ”Tapi ini jarang!” Kardiman kembali menegaskan. Bukan itu saja, CRD juga menyebabkan kematian embrio, kematian anak ayam, menurunkan mutu karkas dan menurunkan produksi telur.
Disamping menjalin hubungan mesra dengan E.coli, CRD dalam beberapa kasus akan meningkatkan kepekaan terhadap infeksi Haemophilus paragallinarum, Infectious Bronchitis (IB) dan Newcastle Desease (ND). Hernomo menyebutkan, akibat CRD kompleks tersebut, timbul beberapa kerusakan di sejumlah jaringan. Dan secara otomatis, kondisi tubuh ayam yang tidak fit berdampak pada menurunnya angka – angka produksi baik broiler maupun layer.
Di tempat lain Kardiman memaparkan, secara langsung CRD berdampak pada tidak maksimalnya pertumbuhan ayam. Sehingga FCR (Feed Convertion Ratio) menjadi tinggi karena makannya banyak tetapi bobot badan rendah. ”Dalam waktu 30 hari keadaan normal, bobot ayam bisa mencapai 1,6 – 1,8 kg. Dan kalau ayam terserang CRD, dalam kurun yang sama, ayam hanya bisa mencapai bobot badan 1 – 1,2 kg”.
Cara kerja penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycoplasma gallisepticum dan Mycoplasma synoviae ini secara umum dijelaskan dalam buku panduan penyakityang diterbitkan Medion. Mycoplasma gallisepticum jika telah masuk dalam saluran pernafasan akan mudah mencapai aliran darah dan tersebar ke seluruh tubuh termasuk persendian, ovarium dan oviduk. Akibatnya, fungsi penghasil telur jadi terganggu sehingga produksi telur turun dan kematian embrio meningkat.
Gejala Ngorok
Secara klinis, umumnya serangan CRD dikenali tatkala terdengar ayam mengeluarkan bunyi nyekrek (krokk..krokk) atau ngorok, kadang keluar lendir dari hidung (semacam pilek) dan kadang-kadang disertai adanya bengkak di sekitar mata disertai rembes (konjungtivitis). Adakalanya ayam yang terserang menunjukkan muka bengkak akibat adanya penimbunan eksudat (cairan kental yang keluar atau berada dalam rongga badan yang disebabkan oleh penyakit) dalam sinus infra orbitalis. Kata Hernomo, CRD sering dijumpai pada ayam broiler pada umur menjelang minggu ke tiga dan pada layer sekitar umur hari ke 30.
Jika dilakukan bedah bangkai akan ditemukan kelainan pada saluran pernafasan, yaitu rongga dan sinus hidung berlendir. Kantong udara menjadi keruh atau mengandung lendir. Pada stadium selanjutnya, lendir menjadi warna kuning dan berkonsistensi seperti kayu. Eksudat seperti ini juga bisat ditemukan di jantung dan pericardium (membran yang menyelimuti jantung), capsula hati dan pada kantung udara. Peradangan pada saluran telur juga sering kali ditemukan.
Selain itu, sebagaimana dituturkan Hernomo, petugas medis yang melakukan nekropsi (otopsi/bedah) pada ayam yang terserang CRD kerap menemukan diagnosa adanya air sacculitis, perihepatitis, dan pericarditis fibrinous yang kerap disebut perkijuan. Lebih lanjut dipaparkan Hernomo, jika perkijuan sudah tebal, berarti kondisi telah kronis dan parah. Sebab bakteri E. Coli yang menginfeksi terbilang ganas. Bakteri E. Coli yang ganas juga dapat menyerang bawah kulit daerah kepala dan sekitar mata. Berlanjut menjadi penyakit lain dengan sebutan SHS (Swolen Head Syndrome). Suatu penyakit yang ditandai dengan gangguan pernafasan, kebengkakan periocular, kebengkakan kepala dan penurunan produksi telur.
Infeksi Vertikal dan Horisontal
Sebelum kejadian CRD, umumnya ayam terinfeksi bakteri mycoplasma melalui infeksi vertikal dan infeksi secara horisontal. Disebut vertikal, lantaran proses infeksi terjadi oleh induk (parent stock) yang memiliki pembawa (carrier) mycoplasma kepada keturunannya. ”Jadi dia (mycoplasma-red) terbawa lewat telur,” ujar Kardiman menjelaskan. Terlepas dari kualitas induk, lebih lanjut Kardiman menambahkan, anak ayam umur sehari/DOC (Day Old Chick) juga berpeluang terinfeksi mycoplasma di tempat penetasan yang kurang terjaga kebersihan, sanitasi dan biosekuritinya.
Meski demikian, infeksi vertikal terbilang lebih sedikit kejadiannya bila dibandingkan dengan infeksi horisontal yang memicu maraknya CRD. Dengan kata lain, infeksi yang terjadi dari lapang lebih dominan pengaruhnya. ”Lebih dari 60 % kejadian CRD lebih dipengaruhi oleh infeksi horisontal, ” Kardiman menuturkan. Hernomo dan Kardiman senada mengatakan permasalahan di lapangan yang hingga kini menjadi penyebab CRD adalah tata laksana dan manajemen kandang yang kurang sesuai dengan kebutuhan ayam. Permasalahan klasik kaitannya dengan kelembaban, kebersihan udara, suhu hingga tingkat biosekuriti.
TROBOS
0 komentar:
Posting Komentar