Masih Soal Menghemat Pakan


Blogger Templates Gallery

Pakan optimum. Inilah pertanyaan terbesar dalam budidaya unggas, terutama di tengah harga pakan yang cenderung naik terus. Yakni pakan yang mampu memenuhi kebutuhan tumbuh unggas sesuai kualitas genetiknya tetapi harganya tak mencekik leher. Faktanya ketika harga pakan tinggi, peternak menempuh berbagai strategi efisiensi demi menghemat biaya pakan. Mulai dari mengganti pakan yang lebih murah sampai melakukan dilution atau mengurangi sebagian pakan jadi yang biasa digunakan dan mensubstitusinya dengan bahan baku yang mudah ditemukan di sekitar.


Dimintai pendapat soal ini, Ferry Purnama, ahli nutrisi ternak unggas punya pendapat menarik. Ia menyarankan peternak jangan buru-buru mengganti pakan dengan kualitas lebih rendah daripada biasanya. Menurutnya, persepsi pelaku perunggasan terutama peternak mengenai efisiensi perlu dikoreksi. “Jangan mengartikan efisiensi dengan menekan biaya input (pakan) ansih,” kata Ferry. Tidak selamanya pakan yang murah berarti hemat atau efisien. Cara menghitung mesti lebih lebar dan adil dengan memasukkan variabel output atau hasil panen.


Yang paling penting menurut Ferry adalah penghitungan di akhir budidaya. Ia membuat analogi sederhana, tak masalah mengeluarkan 150 apabila mendapatkan hasil akhir 250 ketimbang dengan alasan ngirit memilih keluar 100 tapi hasilnya hanya 150. Menurutnya akan lebih tepat apabila ukuran baik tidaknya pakan dinilai dari feed cost/kg bobot ayam. “Berapa rupiah peternak harus merogoh kocek untuk mendapatkan 1 kg ayam,” katanya. Percuma saja kalau input ditekan tapi hitungan di akhir untuk tiap kg ayam lebih tinggi.

Feed cost/kg BB
Pakan “mahal” biasanya memiliki density (istilah dalam nutrisi untuk menggambarkan tingkat kepadatan nutrisi) yang tinggi. “Kalaupun mahal, bukanlah masalah bila nutrisi yang terkandung sebagian besar terserap dan terkonversi oleh tubuh ayam menjadi daging,” Ferry berargumen. Karena itu, saat ini para ahli nutrisi lebih menggunakan nutrition convertion rate (rasio konversi nutrisi), bukan lagi feed convertion ratio (rasio konversi pakan=FCR). Pasalnya, jelas Ferry, FCR bersifat relatif. Semakin tinggi density suatu pakan maka FCR akan turun, demikian sebaliknya. Jadi FCR tidak sepenuhnya menggambarkan prestasi.


Pria yang bertanggung jawab atas formula pakan di Japfa Comfeed ini menambahkan, pembacaan FCR yang selama ini menjadi parameter utama melihat efisiensi dalam budidaya harus dilihat lebih cermat lagi. FCR tidak berdiri sendiri, melainkan dilihat bersama dengan berat badan waktu panen dan mortalitas. Hasil gambarannya akan lebih objektif.
Ferry lebih mengutamakan efisiensi nutrisi. Menurutnya, perhitungan yang lebih tepat dan mulai banyak dianut sebagai patokan di negara maju adalah besaran ME (metabolized energy) yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu kg berat badan (BB) ayam. Atau berapa protein yang diperlukan untuk menjadikan satu kg ayam. Sehingga ukuran melihat efisiensi pakan adalah ME/kg BB atau gram protein/kg BB.


Muara dari semuanya, Ferry jelas-jelas menegaskan, adalah rupiah. “Bottom line-nya adalah feed cost/kg BB.” Jadi kalau dari aspek rupiah kuncinya adalah feed cost/kg BB, kalau dari aspek nutrisi kuncinya adalah nutrition eficiency ratio (rasio efisiensi nutrisi). Yang buntutnya adalah feed cost/kg BB. “Artinya, jumlah pakan yang dimakan kali harga, dibagi kg BB ayam saat panen.”


Budi Tangendjaja, ahli nutrisi ternak dari Balitnak (Balai Penelitian Ternak) pun menggambarkan tren penghitungan efisien di masa depan. Penghitungannya, berapa rupiah yang diperlukan untuk sampai menghasilkan satu kg karkas atau satu kg daging ayam, “Bukan lagi berat ayam hidup.” Tapi ia mengatakan, prinsip tersebut baru dapat dilakukan oleh perusahaan yang menguasai aspek dari hulu sampai hilir, istilahnya vertical integration. Tak harus perusahaan besar. Saat ini beberapa peternak mulai mengintegrasikan usaha budidayanya dengan pembibitan, pabrik pakan sampai pemotongan. Sistem yang seperti ini, menurut Budi memungkinkan melakukan efisiensi penghitungan sebagaimana ia maksud. Bagi peternak yang hanya bermain di pembesaran (komersil) tidak mungkin menghitung demikian. “Selama masih fragmented (parsial) sulit,” komentarnya.

Dua Minggu Pertama
Menurut Ferry, peternak yang cerdas tak melulu mempermasalahkan harga pakan mahal, tapi lebih melihat berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan 1 kg BB ayam. “Keuntungan itu adanya di ujung usaha,” tandasnya. Persoalannya, di ujung usaha ini harga jual ayam kerap fluktuatif. Sehingga kendati dihasilkan bobot tercepat dengan harga termurah tapi tetap tak sepadan (rugi) karena harga jual sedang jatuh. Sering terjadi harga jual broiler jatuh, sementara pakan tetap atau bahkan naik. Maka yang dapat dilakukan peternak adalah menekan kerugian.


Kalaupun langkah mengganti pakan harus ditempuh, Ferry menyarankan jangan melakukannya di umur 2 minggu pertama. Dikatakannya, masa ini sebagai masa kritis bagi ayam memaksimalkan kapasitas produksi sesuai kualitas genetiknya. Capaian bobot di minggu I setidaknya 200 gram dan 520 gram di minggu II adalah standar baku. “Itu hukumnya wajib. Kalau di bawah standar, dipastikan selanjutnya ketinggalan,” kata Ferry.


Ferry menyodorkan data riset, dua perlakuan yang berbeda diterapkan pada dua kelompok broiler. Satu kelompok diberikan pakan dengan kepadatan tinggi, kelompok lain pakan yang dikonsumsi memiliki kepadatan rendah. Rata-rata bobot yang diperoleh bisa dipastikan akan berbeda. Selepas minggu II semuanya diberikan pakan yang sama, bobot saat panen menunjukkan kelompok pertama memberikan hasil lebih tinggi.


Artinya, kata Ferry, 2 minggu pertama masa hidup ayam menentukan perkembangan selanjutnya. Sekalipun diupayakan pemberian pakan kualitas tinggi pasca minggu II, kalau ayam telanjur di masa kritis tersebut tidak tumbuh optimal dipastikan tidak berhasil. “Di 14 hari pertama pakan tidak bisa main-main, berikan yang terbaik sesuai kebutuhan genetik ayam untuk tumbuh,” ia mewanti-wanti. Kalau awalnya sudah ketinggalan, maka selanjutnya bakal terus ketinggalan. Maka efisiensi menurut Ferry adalah bagaimana memaksimalkan 2 minggu pertama agar mendapatkan feed cost/BB yang paling murah di umur panen.

Lakukan Selepas Minggu II
Sebagai siasat bertahan, di waktu harga jual tak bersahabat, bila tak ada jalan lain Ferry mengatakan, “Bisa saja selepas minggu II pakan diganti dengan spec lebih rendah.” Pakan density rendah akan mengurangi kecepatan tumbuh ayam. Karena semakin cepat tumbuh ayam, ukuran ayam semakin besar. Artinya makin banyak biaya dikeluarkan, padahal harga ayam sedang jatuh. Kerugian akan semakin besar. Jadi pada masa itu hasilkan ayam ukuran kecil supaya kerugian yang diderita relatif kecil juga.


“Saya bilang bukan menghapus rugi, tapi mengurangi kerugian,” tegasnya. Tetapi sekali lagi ia menggarisbawahi, di umur 14 hari pertama target berat badan minimal harus tercapai terlebih dahulu. Melesetnya pencapaian pada masa itu, kerugian yang diderita peternak tidak kecil. “Toh pakan sepanjang umur itu belum besar. Hanya berkisar 500 gram/ekor sepanjang 2 minggu,” tambahnya.


Terkesan dari pandangan Ferry, yang penting masih untung di akhir usaha, tidak ada yang dapat dilakukan di saat pakan tinggi. Ia beralasan, selama bahan baku naik tak ada yang dapat dilakukan. “Lha kalau jagung dan kedelai naik, mau apalagi, pakan terpaksa naik. Semua ditentukan pasar,” ia berkilah. Menurutnya, kalau maunya pakan murah dan stabil, bahan baku harus tersedia cukup di dalam negeri. “Jagung sudah lumayan, impornya kecil sekali bisa diabaikan sehingga ongkos transpor juga bisa ditekan. Tapi yang lain?”

Efisiensi Formula dan Feeding System
Sementara Budi dalam kesempatannya bertandang ke TROBOS Juli lalu mengatakan beberapa hal dapat dilakukan dalam rangka penghematan pakan di tengah situasi harga pakan yang tinggi. Di satu sisi, feedmill (pabrikan pakan) melakukan efisiensi dalam formulasinya, di sisi lain feeding system (cara pemberian pakan) yang tepat harus dilakukan peternak untuk sampai pada biaya paling rendah di ujung usaha.


Terang Budi, feedmill selama ini sudah berpatokan pada least cost yang paling murah. Dalam soal penghematan, feedmill dituntut untuk mampu kreatif mencari bahan baku alternatif untuk menekan biaya. “Tidak harus yang ada dalam negeri, dari mana saja,” ujar Budi. Ia tengah giat mengenalkan DDGS (semacam ampas jagung hasil samping pengolahan ethanol) yang harganya relatif rendah. “Cuma US$ 250/ton,” sebutnya. Beberapa feedmill yang progresif mau menggunakannya dalam jumlah tertentu dan terbukti mengurangi biaya.


Yang berikutnya, melakukan review (telaah ulang) atas batasan-batasan jumlah penggunaan bahan baku. “Batasan kadang mengganjal, padahal secara nutrisi angkanya memungkinkan lebih besar dari angka patokan yang selama ini dianut,” jelas Budi. Ke tiga, mempertanyakan kembali seberapa jauh feedmill mampu teliti menilai kandungan nutrisi dari sebuah bahan baku. Misal bungkil kedelai yang kandungan proteinnya 48% dinilai oleh feedmill 47%. Dalam formulasi, 1% akan sangat bermakna terhadap rupiah. Ketepatan tera ini mampu mencegah dari formulasi yang “boros”. “Bagaimana caranya se-presisi mungkin,” tandas Budi. Kemudian soal bahan tambahan (feed additive), harus dicek kembali mana saja yang memang menguntungkan memberikan hasil signifikan pada ketersediaan nutrisi.


“Yang tidak terbukti berfungsi nyata, feedmill harus coret dari daftar,” tambahnya. Bagi imbuhan yang memang dapat memberikan penghematan melalui pengurangan bahan baku dan secara rupiah menekan biaya, tidak masalah. Tetapi sebagian imbuhan ini menurut Budi masih perlu dipertanyakan efektivitasnya dalam menekan biaya pakan. Penambahan ini bervariasi dari Rp 15 – 100 per kg, “Itu biaya yang harus dihitung, kalau tidak bermanfaat, keluarkan dari daftar!”


Enzim, misalnya. Harus dipertanyakan secara kritis, enzim tersebut benar-benar bekerja atau tidak terhadap bahan baku dalam pakan. Juga harus dibuktikan secara nyata enzim tersebut mampu menambah nutrisi dalam pakan yang akan diserap tubuh ayam. Budi mencontohkan enzim phytase diperlukan dan bekerja dalam pakan melepaskan fosfor dari ikatan asam phytate sehingga dapat diserap tubuh, tapi harus jeli dari sekian banyak phytase yang ada di pasaran mana yang mampu signifikan menyediakan fosfor siap serap dalam pakan. Kalau memang bekerja baik, silahkan gunakan karena akan membantu mengurangi penggunaan MCP (monocalciumphosphate) atau DCP (dicalciumphosphate) dalam pakan yang harganya cukup tinggi. Menurut dia, enzim memiliki kerja yang bervariasi dari yang bekerja baik, sedang, sampai tidak bekerja sama sekali.

TROBOS

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2008 - TDA Semarang - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Adiestudio - Dilectio Blogger Template | Gallery