Instalasi produksi ini telah dibuatnya antara lain di Aceh, Indragiri Hilir, Lampung dan Brebes
Tidak ada limbah, semua adalah produk yang berguna, baik secara langsung ataupun melalui tahapan proses lebih lanjut. Ada pertanyaan ‘nakal’, apa beda antara susu dan urin? Dalam pola pikir proses industri, keduanya sama. Sama-sama bahan baku yang dihasilkan ternak. Keduanya bisa langsung digunakan, tapi juga sama-sama bisa diproses untuk mendapatkan nilai lebih secara teknis maupun ekonomis. Sayang, urin masih saja terbuang...
Adalah Danarto, aktivis pertanian organik yang tergabung dalam komunitas RAMES (Rakyat Adil Makmur Merdeka Sejahtera) yang bertahan memproduksi pupuk organik asal urin sapi sejak 2000. “Saat yang lain berhenti produksi, kita tetap bertahan. Kita berdampingan dengan kelompok tani,” kata pria paruh baya ini tegas.
Tekadnya bergelut dengan cairan pesing ini bermula dari kiprahnya sebagai pegawai kontrak di Pusat Antar Universitas (PAU) UGM tahun 1986 – 1995. Saat itu ia menjadi staf bagian pengembangan bahan pengajaran dan penelitian. Di sanalah ia kenal dengan penelitian-penelitian pertanian organik dan mendekati penelitinya Prof Dr Joedoro Soedarsono. “Sampel dan catatan - catatan sementara penelitian yang seharusnya dibuang, saya pelajari. Saya coba otak-atik sendiri sambil konsultasi. Bahkan sampai beliau pensiun ini saya tetap konsultasi,” akunya. Barulah pada 1997, ia membentuk kelompok petani, dan pada 1999 mendirikan komunitas RAMES yang memproduksi pupuk cair berbahan urin.
Danarto tak hanya memproduksi satu jenis pupuk. Ada pupuk penyedia Nitrogen, Fosfor dan Kalium. Ketiganya berbentuk cair dan dibuat dari limbah pertanian. “Pupuk lengkap unggulan kami berlabel Bioreen. Bahannya dari urin sapi perah, dedaunan, dan limbah buah-buahan pasar,” paparnya. Danarto juga menambahkan susu afkir pada pembuatan bioreen. Sebab, susu merangsang tumbuhnya lactobacillus yang berfungsi sebagai penggembur tanah.
Urin Sapi Perah
Bahan baku pembuatan urin sapi perah memiliki banyak keunggulan. “Berdasar pengalaman saya di PAU dulu, urin sapi perah bunting mengandung hormon yang bisa memacu pertumbuhan tanaman, yang bisa disetarakan dengan giberelin dan sitokinin,” ungkapnya. Bahkan, menurut Danarto ada yang mensinyalir urin sapi perah mengandung auksin – yang sebenarnya hormon eksklusif pada tumbuhan. Mungkin karena sapi perah memakan lebih banyak hijauan ketimbang sapi potong sehingga kandungan auksin hijauan itu disekresikan lewat urin.
Selain itu, kandang sapi perah yang berlantai semen juga memudahkan menampung urinnya. Dalam sehari, sapi perah menghasilkan antara 10 – 15 liter urin. “Sayangnya, kita tidak memproses tiap hari. Sekali proses, kita tampung 3000 liter, baru setelah terjual kita proses lagi. Urin sapi perah diperolehnya dari sapi-sapi perah milik komunitas RAMES. “Dibeli Rp 500/liter,” katanya.
Selanjutnya urin dan bahan-bahan lain dicampur, dan difermentasi dalam tong plastik yang dimodifikasi agar tidak meledak. Sebab, fermentasi anaerob ini menghasilkan gas dan kalor. Fermentasi sempurna membutuhkan waktu 2 bulan. “Sebenarnya 3 minggu sudah bisa diaplikasi, tapi jangan dikemas dulu. Karena mikrobia masih aktif alias tetap menghasilkan gas sehingga berpotensi meledakkan kemasan,” saran Danarto.
Pupuk organik cair ini tidak bisa dikemas dalam sembarang kemasan. “Harus botol PVC putih, yang bisa menahan cahaya matahari langsung. Agar mikrobia tidak mati,” tandasnya. Sebab, selain mengandalkan zat organik, efektivitas pupuk ini juga bergantung pada kehidupan mikrobia di dalamnya.
TROBOS
Blogger Templates Gallery
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar