Dengan sistem ini biaya pakan nol. Per seribu ekor bisa meraup Rp 20 juta, plus gratis 500 ekor itik
Lazimnya, membesarkan DOD hingga menjadi bayah (itik/bebek dara siap bertelur) dianggap sebagai periode padat modal dan bisa dikatakan tidak menguntungkan. Apalagi pada pemeliharaan dengan sistem kering, yang hanya sesekali saja bebek di-angon untuk mendapatkan pakan alami yang cukup dan gratis. Walhasil, biaya pakan selama kurun 5 – 6 bulan itu membengkak dan memusingkan peternak.
Bisa dibayangkan, menurut Rodhi (44 th), peternak bebek dari Pakijangan, Brebes – Jateng, biaya pakan dan obat/vitamin per 1000 ekor bebek pada 2 bulan pertama pembesaran ini sudah mencapai Rp 6,1 juta. Padahal, semakin hari bebek semakin besar, sehingga membutuhkan pakan dalam jumlah yang semakin besar pula.
Sistem Boro
Menghindari tingginya biaya pakan pada program pembesaran bebek petelur ini, secara turun temurun peternak bebek di pantura Jateng melakukan sistem pembesaran berpindah (mobile system) yang diselaraskan dengan siklus pertanian padi. Sistem ini dinamai boro atau barah. Mereka memanfaatkan jeda waktu antara musim panen dengan musim tanam padi untuk memelihara bebek-bebek muda itu di sawah.
Sehabis panen itu, banyak ceceran padi yang menjadi sumber energi bagi bebek. Selain itu alam sudah menyediakan pakan alami berupa cacing, katak, keong, serangga air, belalang, dsb. Pakan alami itu merupakan sumber protein dan kalsium yang baik, sehingga membuat pertumbuhan bebek optimal.
”Tak bisa di sangkal, banyak keuntungan dari menyelaraskan diri dengan alam, habitat asli bebek. Tinggal orangnya, mau atau tidak menyelaraskan diri,” kata Atmo Suwito Rasban, ketua Koperasi Tani Ternak Itik Adem Ayem I – Pakijangan, saat ditemui di kompleks peternakan bebek yang dikomandaninya. Ia menambahkan, biaya pakan saat boro itu betul-betul nol. Keuntungan lainnya, tantangan kondisi alam terbuka di sawah membuat bebek lebih tangguh pada tantangan musim dan berbagai kondisi pakan.
Tenda bebek di tengah sawah didirikan dengan patok-patok bambu setinggi 1 m, berdinding waring ataupun kain bekas spanduk, dan beratap terpal. Di pojok tenda, terdapat ’bilik’ tidur pembarah.
Selama 3 – 4 minggu itu, peternak tinggal di sawah. Setelah tiba masa tanam mereka berpindah ke hamparan sawah daerah lain yang masih menunggu masa tanam padi. “Bisa berjarak 30 – 40 km, bahkan lebih. Peternak biasa membarah sampai Pemalang, Purbalingga dan Cirebon. Bahkan ada yang sampai ke Cilacap dan Karawang,” tutur Mito, panggilan akrab Atmo Suwito Rasban.
Untuk mengangkut bebek-bebek itu, mereka menggunakan mobil pick up sewaan dengan ongkos Rp 150 ribu / 30 – 40 km, sekali jalan. Kendaraan itu mampu memuat 1000 ekor bebek umur 4 bulan (alias sudah dibarah 2 bulan). “Memasuki bulan ketiga, bebek yang diboro harus dibawa 2 kali angkut, karena tubuhnya sudah besar,” kata alumni FE UII Jogjakarta ini.
Setelah 4 bulan diboro, bebek siap bertelur. Kembalilah mereka ke kandang. “Bisa dipelihara dengan sistem kering sekalipun (tanpa di-angon),” kata Roidin. Hanya sesekali saja bebek dimandikan ke sungai atau ke sawah terdekat.
Budidaya Sebelum Di-boro
Meri (bebek muda) mulai diboro pada umur 2 bulan. “Bisa saja diboro pada umur 1 bulan, syaratnya cuaca bagus. Sebab mereka belum tahan dingin,” tandas Roidin (48 th), sejawat Rodhi.
Sebelum diboro, meri dipelihara di kandang. Saat umurnya masih berbilang hari, (DOD) meri ditempatkan dalam petakan yang diberi penghangat kompor minyak tanah. Penghangat terus dipertahankan hingga umur 2 minggu. Selama itu, meri diberi pakan crumble BR I (pakan ayam pedaging). Selama periode itu, setiap 1000 ekor meri menghabiskan 2 zak BR I.
Memasuki minggu ketiga, meri diberi pakan racikan sendiri berupa campuran rendaman nasi aking (10 kg), bekatul (15 kg) dan ikan rucah giling (10 kg). “Cukup untuk memberi pakan sehari bagi 1000 ekor meri,” tegas Roidin. Setiap hari pakan dinaikkan kuantitasnya disesuaikan sesuai dengan pertumbuhannya.
Setelah umur 1 bulan, komposisi pakan meri yang diberikan peternak Pakijangan berupa nasi aking 20 kg, ikan rucah 25 kg, dan bekatul 55 kg. Setiap hari, pakan ini ditambah kuantitasnya hingga pada minggu terakhir bulan kedua komposisinya menjadi nasi aking 20 kg, ikan rucah 35 kg, dan bekatul 120 kg.
Setelah berumur sebulan, meri dimandikan setiap hari di sungai. “Cukup 15 – 30 menit agar mereka terbiasa di air,” kata Mito. Lucunya, waktu pertama kali diajari masuk sungai, ternyata banyak meri yang takut air. Sehingga peternak mesti menangkap satu persatu dan melemparkannya ke tengah sungai.
Gratis Bebek, Bonus Duit
Dengan budidaya sistem boro, peternak memiliki kesempatan menambah penghasilan dengan menjual sebagian bayah yang dihasilkannya. Dari 1500 ekor DOD, bisa dihasilkan 1425 bayah (mortalitas 5%). Bayah yang dipelihara sendiri untuk replacement bebek yang sudah afkir hanya 500 ekor, dan sisanya (925 ekor) dijual seharga Rp 39.000,- - Rp 40.000,- / ekor.
Hasil penjualan 925 ekor bayah sebesar Rp36.075.000,- dan total biaya pemeliharaan 1500 ekor meri selama 6 bulan Rp 30.905.000,- sehingga peternak untung Rp 5.170.000,-. “Artinya peternak mendapat 500 ekor bayah gratis masih ditambah duit,” kata Rodhi.
0 komentar:
Posting Komentar